قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ ، فَإِنَّهُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ) رواه مسلم
Artinya; “Dari Abu Hurairah radliallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu (amal) kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah azza wajalla berfirman, ‘Kecuali puasa, karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan membalasnyaAkan tetapi ibnu hajar al askholani menjelaskan bahwa puasa yang di lipat gandakan hingga bilangan tak terbatas tersebut adalah puasa yang benar-benar bersih dari kemaksiatan baik segi ucapan atau perbuatan,” (HR. Muslim)
ولا بد أن يعلم أن المراد بالصيام هنا هو الصيام الذي سلم من المعاصي قولاً وفعلاً
Artinya; “Dia harus tahu bahwa yang dimaksud dengan puasa itu adalah puasa yang bebas dari dosa baik itu perkataan maupun perbuatan.”
Maka dari itu hendaklah kita selalu menjaga tingkah laku dan ucapan kita saat menjalakan puasa. Selain dari hal tersebut tentu kita harus banyak mempelajari ibadah puasa ini dari segi syariatnya, baik dari syarat sah dan wajibnya, rukun-rukunnya, mubtilatnya, dan juga kasus2 lain yang sering terjadi di masyarat luas. Tanpa mempelajari dari arah ini, tentu kita tidak akan bisa menjalankan perintah Alloh tersebut dengan benar, karena dapat menjalankan to'at kepada perintah Alloh itu merupakan anugrah yang besar bagi kita dan harus kita kedepankan dari pada memprioritaskan imbalan dari perintah tersebut.
Di sini kami akan berbincang sedikit mengenahi hal-hal yang dapat membatalkan puasa yang jumlahnya ada empat, mungkin dalam literasi lain ada yang menyebutkatnya sepuluh seperti dalam kutipan nadhom berikut :
عشرة مفطـرات الصـوم # فهاكها إغمـاء كل اليـوم
إنـزالـه مباشـراً والردّة # والوطء والقـيء إذا تعمده
ثم الجنون الحيض مع نفـاس # وصول عين بطنه مع راسِ
Hal tersebut karena enam perkara yang lain merupakan hilangnya sarat sah dan sarat wajibnya puasa.
Yang pertama yang membatalkan puasa adalah jimak (bersetubuh) dengan sarat adanya kesengajaan, mengerti hal ini bisa membatalkan puasa, dan atas dasar kemauan sendiri. Maka dapat dihukumi sah puasanya bagi orang yang melakukan hubungan badan dengan terpaksa meskipun ada sarat yang sulit terealisasi seperti tidak adanya kerelaan hati (pasrah ﺭ), tidak ada pemikiran normal, dan tidak adanya rasa nikmat dalam berhubungan badan tersebut.
( فتح المعين) لا مكره لم يحصل منه قصد، ولا فكر، ولا تلذذ
Perkara yang membatalkan puasa yang kedua adalah istimtak (onani) atau bisa juga puasa akan batal jika keluar mani sebab bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Dari sini dapat disimpulkan tidak akan batal jika keluar mani sebab mimpi basah, melihat atau membayangkan lawan jenis, atau sebab menyentuh rambut dan kuku. Perlu diingat bahwa istri adalah ajnabiyah (bukan mahrom kita), maka akan batal jika keluar mani sebab bersentuhan tubuh pada bagian apapun.
Yang ketiga adalah istikoah (berusaha memuntahkan makanan yang sudah berada di anggota dalam) walaupun tidak ada perkara yang berhasil keluar dari perut. Dari sini dapat di hukumi haram dan batal secara pasti jika ada kasus mengeluarkan lalat yang masuk mulut hingga batas anggota dalam (mahrotnya" ح "), tapi jika di hawatirkan berbahaya (dhorurot) maka mengeluarkan hukumnya boleh serta wajib mengkodhoi puasa. Yang terahir adalah masuknya benda kedalam tubuh melalui lubang yang terhubung dengan organ dalam (bukan pori-pori) bagi orang yang menyengaja, mengetahui hukumnya, dan kemauan sendiri. Maka puasa akan batal karena di hukumi tidak adanya keterpaksaan jika ada air yang tertelan sebab membuka mulut di dalam air atau menaruh air kedalam mulut. Berbeda lagi jika menaruh sesuatu ke mulut lalu lupa memakanya, maka puasa masih sah karena tidak adanya unsur kesengajaan.
Penulis; Bapak Ustadz M. Ubaidillah Zainuddin (Khodim MHM Ngunut Pusat)
Referensi; Kitab I’anatut Tholibin, Shohih Muslim, Fathul Barri